Friday 26 June 2009

BAHAN PANGAN IDEAL BEBAS DARI PERUBAHAN KIMIA DAN FISIK

BAB I
PENDAHULUAN

Bahan Pangan atau makanan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia. Salah satu ciri bahan pangan yang baik dan ideal adalah aman untuk dikonsumsi. Layak dikonsumsi ialah bahan pangan yang memenuhi kriteria sensori yang meliputi: penampakan, bau, rasa; kriteris kultural; kriteria religius; kriteria gizi dan kriteria keamanan pangannya. Sedangkan bahan pangan dikatakan ideal jika bahan pangan tersebut sudah tercakup kebutuhan gizinya dengan tersusun atas air, protein, karbohidrat, lemak, vitamin, serat dan mineral. Komponen - kompenen dalam bahan pangan ini berperan penting dalam memberikan karakter bahan pangan baik sifat fisik, kimia dan biologi.
Perubahan sifat fisik atau kimia yang tidak diinginkan seperti dibiarkan di udara terbuka pada suhu kamar akan mengalami kerusakan dan kebusukan. Kerusakan atau kebusukan bahan pangan atau makanan dapat berlangsung secara cepat atau lambat tergantung dari jenis bahan pangan yang bersangkutan dan tergantung pada kondisi lingkungan dimana bahan makanan disimpan. Akibat yang terjadi adalah bahan pangan tersebut tidak layak dikonsumsi. Selain itu, bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan organisme lain penyebab penyakit.
Sementara itu, bahan pangan yang kaya zat gizi akan mudah rusak dan menimbulkan resiko keamanan pangan yang lebih besar dibandingkan dengan bahan yang kandungan gizinya lebih rendah. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa bahan pangan yang mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi relatif lebih mudah menimbulkan resiko keamanan pangan, oleh karena itu bahan pangan hewani harus mendapat perhatian lebih.




BAB II
ISI

A. Pemilihan Bahan Pangan Ideal
Menurut Ardiansyah (2007), produk-produk bahan pangan dapat dikarakreristik berdasarkan mutunya, dibagi menjadi dua kelompok yaitu :
a. Karakteristik fisik/tampak, meliputi penampilan yaitu warna, ukuran, bentuk dan cacat fisik; kinestika yaitu tekstur, kekentalan dan konsistensi; flavor yaitu sensasi dari kombinasi bau dan cicip
b. Karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis
1. Daging ternak
Daging merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak (perishable food) karena daging merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Daging terdiri dari tiga komponen utama, yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue), dan jaringan ikat (connective tissue). Banyaknya jaringan ikat yang terkandung di dalam daging akan menentukan tingkat kealotan/kekerasan daging.
Berdasarkan keadaan fisik, daging di bagi menjadi :
• daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan,
• daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin),
• daging segar yang dilayukan, didinginkan, kemudian dibekukan (daging beku),
• daging masak,
• daging asap, dan
• daging olahan.
Menurut Rahayu (2003), ciri-ciri daging yang baik :
 Bersih dan lapisan luarnya kering
 Tampak mengkilap, warna cerah dan tidak pucat.
 Daging yang sudah ditiriskan tidak berdarah, tidak tercium bau asam atau busuk.
 Sifat elastis artinya bila ditekan dengan jari akan segera kembali (kenyal).
 Bila dipegang tidak lekat/lengket tetapi terasa basah
Ciri-ciri jenis daging ternak yang bebas perubahan fisik :
a. Sapi
warna merah segar, serat halus, lemak lunak, warna kuning
b. Kambing
warna merah jambu, serat halus, lemak keras warna putih, berbau khas (prengus)
c. Babi
warna merah jambu, serat halus, lemak lunak warna putih jernih
d. Kerbau
warna merah tua, serat kasar, lemak keras, warna kuning
e. Unggas
warna putih kekuningan, lembek, tulangnya jelas warna kekuningan. Bila dipotong sudah mati (bangkai) warna agak gelap, luka potong lurus pada bekas sembelihan, dagingnya kenyal
f. Ayam buras
daging agak kering dan langsing, otot jelas warna kekuningan
g. Ayam ras
daging lunak, agak basah dan motok, lebih jelas pada kepala/jengger
2. Telur
Merupakan bahan pangan yang paling praktis untuk digunakan dan pengolahanya tidak sulit
Sifat telur :
a. Kulit telur mudah pecah, retak dan tidak mudah dipertahankan secara kasar dalam wadah
b. Bentuk elips
c. Suhu dan kelembapan dapat mempengaruhi mutu pada kuning dan putih

Ciri-ciri jenis telur yang bebas perubahan fisik :
a. Tampak bersih dan kuat
b. Tidak pecah, retak dan bocor
c. Tidak terdapat noda atau kotoran pada kulit
d. Mempunyai lapisan zat tepung pada permukaan kulit
e. Kulit telur kering dan tidak basah akibat dicuci
f. Dikocok tidak kopyor (koclak)
g. Bila diteropong (canding) terlihat terang dan bersih
3. Susu
Susu merupakan hasil pemerahan sapi/hewan menyusui lainya yang dapat di konsumsi dan dapat di gunakan sebagai bahan makanan yang sehat dan amam serta tidak dikurangi komponenya atau ditambahkan bahan-bahan lain
Komposisi susu normal :
Lemak 3,6 %
Protein 3,2 %
Laktosa 4,7 %
Abu 0,65 %
Bahan Kering 12,75 %
Air 87,25 %
Ciri-ciri jenis susu yang bebas perubahan fisik :
a. Warna putih susu dan kental.
b. Cairannya konstan dan tidak menggumpal.
c. Aroma khas susu, tidak bau asam, tengik atau bau amis.
d. Berat jenis lebih tinggi dari air (di atas 1,0)
e. Kalau dituang dari gelas masih menempel di dinding gelas.
f. Kalau dimasak akan terbentuk lapisan busa lemak (foam).
g. Bebas dari kotoran fisik seperti darah, debu, bulu serangga dan lain- lain
h. Titik didih susu berada sedikit di atas titik didih air
i. Kekentalan susu 1,5-1,7 kali kekentalan air
B. Perubahan Sifat Fisikawi pada Bahan Pangan
 Daging
a. adanya perubahan bau menjadi tengik atau bau busuk
b. terbentuknya lender
c. adanya perubahan warna
d. adanya perubahan rasa menjadi asam
e. tumbuhnya kapang pada bahan/dendeng kering
 Telur dan produk olahannya
Telur utuh yang masih terbungkus kulitnya dapat rusak baik secara fisik maupun karena pertumbuhan mikroba. Tanda-tanda kerusakan telur utuh adalah:
a. adanya perubahan fisik seperti penurunan berat karena airnya menguap, pembesaran kantung telur karena sebagian isi telur berkurang timblnya bintik-bintik berwarna hijau, hitam atau merah karena tumbuhnya bakteri
b. tumbuhnya kapang perusak telur
c. keluarnya bau busuk karena pertumbuhan bakteri pembusuk

C. Perubahan Sifat Kimiawi Bahan Pangan Selama Pengolahan
Banyak reaksi-reaksi kimia yang terjadi selama pengolahan pangan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap nilai gizi, keamanan dan penerimaannya. Komposisi bahan pangan secara umum sama, terutama terdiri dari lipid, karbohidrat dan protein, dengan demikian banyak reaksi-reaksi umum yang sama. Disamping itu, banyak reaktan untuk suatu reaksi terdapat pada sebagian besar bahan pangan. Sebagai contoh, reaksi pencoklatan nonenzimatis (reaksi Maillard) melibatkan senyawa karbonil yang dapat berasal baik dari gula pereduksi atau hasil oksidasi asam askorbat, hidrolisis pati dan oksidasi lipid. Oksidasi dapat melibatkan lipid, protein, vitamin, pigmen, dan lebih spesifik lagi oksidasi melibatkan triasilgliserida yang umum terdapat pada bahan pangan atau fosfolipid yang ada di sebagian bahan pangan.
a. Perubahan Sifat Kimiawi Protein
Pengolahan daging dengan menggunakan suhu tinggi akan menyebabkan denaturasi protein sehingga terjadi koagulasi dan menurunkan solubilitas atau daya kemampuan larutnya. Denaturasi pertama terjadi pada suhu 45°C yaitu denaturasi miosin dengan adanya pemendekan otot. Aktomiosin terjadi denaturasi maksimal pada suhu 50-55°C dan protein sarkoplasma pada 55-65°C (Kastanya, 2009).
Denaturasi akan menyebabkan perubahan struktur protein dimana pada keadaan terdenaturasi penuh, hanya struktur primer protein saja yang tersisa, protein tidak lagi memiliki struktur sekunder, tersier dan kuartener. Akan tetapi belum terjadi pemutusan ikatan peptida pada kondisi terdenaturasi penuh. Denaturasi protein yang berlebihan dapat menyebabkan insolubilitasi yang dapat mempengaruhi sifat-sifat fungsional protein yang tergantung pada kelarutannya. Dari sisi gizi, denaturasi parsial protein sering meningkatkan daya cerna dan ketersediaan biologisnya. Pemanasan yang moderat dapat meningkatkan daya cerna protein tanpa menghasilkan senyawa toksik. Disamping itu, dengan pemanasan yang moderat dapat menginaktivasi beberapa enzim seperti protease, lipase, lipoksigenase, amilase, polifenoloksidase, enzim oksidatif dan hidrolitik lainnya. Jika gagal menginaktivasi enzim-enzim ini maka akan mengakibatkan off flavour, ketengikan, perubahan tekstur, dan perubahan warna bahan pangan selama penyimpanan. Oleh karena itu, sering dilakukan inaktivasi enzim dengan menggunakan pemanasan sebelum penghancuran. Perlakuan panas yang moderat juga berguna untuk menginaktivasi beberapa faktor antinutrisi seperti enzim antitripsin dan pektin.





b. Perubahan Sifat Kimiawi Lipid
Lipid merupakan salah satu komponen utama bahan pangan selain karbohidrat dan protein. Oleh karena itu peranan lipid dalam menentukan karakteristik bahan pangan cukup besar. Reaksi yang umum terjadi pada lipid selama pengolahan meliputi hidrolisis, oksidasi dan pirolisis. Oksidasi lipid biasanya melalui proses pembentukan radikal bebas yang terdiri dari tiga proses dasar yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi (Apriyantono, 2005).
Pada tahap awal reaksi terjadi pelepasan hidrogen dari asam lemak tidak jenuh secara homolitik sehingga terbentuk radikal alkil yang terjadi karena adanya inisiator (panas, oksigen aktif, logam atau cahaya). Pada keadaan normal radikal alkil cepat bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi dimana radikal peroksi ini bereaksi lebih lanjut dengan asam lemak tidak jenuh membentuk hidroproksida dengan radikal alkil, kemudian radikal alkil yang terbentuk ini bereaksi dengan oksigen. Dengan demikian reaksi otoksidasi adalah reaksi berantai radikal bebas.

D. Indentifikasi Kerusakan Bahan Pangan Ideal
Menurut Mardiana (2007), kerusakan bahan pangan dapat dibedakan atas beberapa jenis yaitu :
a. Kerusakan fisik karena ini disebabkan oleh faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, tekanan benturan, Sayatan, dan lain-lain.
b. Kerusakan kimia karena terjadinya reaksi kimia, baik enzimaris maupun non enzimatis, seperti ketengikan, pencoklatan , dan lain-lain.
c. Kerusakan biologis yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
• Mikroorganisme perusak makanan (kapang, kamir dan bakteri).
• Serangga perusak pangan



Kerusakan bahan pangan dapat dideteksi dengan berbagai cara, yaitu:
1. Uji organoleptik
Dengan cara melihat tanda-tanda kerusakan seperti perubahan tekstur atau kekenyalan, keketanlan, warna bau, pembentukkan lendir, dan lain-lain.
2. Uji fisik
Dengan cara melihat perubahan-perubahan fisik yang terjadi karena kerusakan oleh mikroba maupun oleh reaksi kimia, misalnya perubahan pH, kekentalan, tekstur, indeks refraktif, dan lain-lain.
3. Uji kimia
Dengan cara menganalisa senyawa-senyawa kimia sebagai hasil pemecahan komponen pangan oleh mikroba atau hasil dari reaksi kimia.
4. Uji mikrobiologis,
Dapat dilakukan dengan metode hitungan cawan, MPN, dan mikroskopis. Uji mikrobiologi memerlukan banyak peralatan dengan persiapan dan uji yang cukup lama, oleh karena itu dianggap tidak praktis. Beberapa uji mikrobiologi telah dikembangkan dengan metode cepat, tetapi pada umumnya memerlukan peralatan yang mahal dan bahan kimia yang tidak mudah diperoleh. Beberapa uji kimia juga memerlukan bahan kimia yang tidak murah dengan waktu uji yang agak lama. Dari berbagai uji kerusakan pangan tersebut di atas, beberapa uji yang di bawah ini dianggap cukup sederhana untuk diterapkan di daerah-daerah dengan fasilitas peralatan yang sederhana, yaitu:
1. Uji organoleptik
Dengan cara melihat tanda-tanda kerusakan masing-masing produk yaitu:
a. Perubahan kekenyalan/tekstur pada daging dan ikan.
b. Perubahan kekentalan (viskositas) pada produk-produk cair seperti susu
c. Perubahan warna pada semua produk pangan.
d. Perubahan bau pada semua produk pangan.
e. Pembentukkan lendir pada semua produk pangan berkadar air tinggi (daging, ikan, sayuran, sup, kaldu, dan lain-lain).
2. Uji fisik, yaitu:
a. Perubahan pH pada semua bahan pangan dan produk pangan
b. Perubahan viskositas (viskosimeter)
c. Perubahan indeks refraktif pada air daging
d. perubahan warna (chromameter)
e. Perubahan tekstur (teksturometer)
3. Uji kimia meliputi :
a. Uji katalase
b. Uji reduksi warna (pada susu dan santan)
c. Uji etanol (pada susu)
4. Uji mikrobiologis,
Merupakan cara yang paling sederhana dan cepat yaitu uji secara mikroskopis dengan menghitung jumlah mikroba.

E. Cara Pengawetan Bahan Pangan
Menurut Qazuini (2006), agar bahan pangan tetap awet dan ideal maka bahan pangan tersebut perlu untuk diawetkan. Jenis-jenis teknik pengawetan antara lain :
a. Pendinginan
Pendiginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan bahan yaitu -2 sampai +10 0 C. Cara pengawetan dengan suhu rendah lainya yaitu pembekuan. Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku yaitu pada suhu 12 sampai -24 0 C. Pembekuan cepat (quick freezing) di lakukan pada suhu -24 sampai - 40 0 C. Pendinginan biasanya dapat mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau minggu tergantung pada macam bahan panganya, sedangkan pembekuan dapat mengawetkan bahan pangan untuk beberapa bulan atau kadang beberapa tahun. Perbedaan lain antara pendinginan dan pembekuan adalah dalam hal pengaruhnya terhadap keaktifan mikroorganisme di dalam bahan pangan.
b. Pengeringan
Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan energi panas. Biasanya, kandungan air bahan tersebut di kurangi sampai batas sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi di dalamya. Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan, berat bahan juga menjadi berkurang sehingga memudahkan transpor, dengan demikian di harapkan biaya produksi menjadi lebih murah. Kecuali itu, banyak bahan-bahan yang hanya dapat di pakai apabila telah di keringkan, misalnya tembakau, kopi, the, dan biji-bijian. Di samping keuntungan-keuntunganya, pengeringan juga mempunyai beberapa kerugian yaitu karena sifat asal bahan yang di keringkan dapat berubah, misalnya bentuknya, misalnya bentuknya, sifat-sifat fisik dan kimianya, penurunan mutu dan sebagainya. Kerugian yang lainya juga disebabkan beberapa bahan kering perlu pekerjaan tambahan sebelum di pakai, misalnya harus di basahkan kembali (rehidratasi) sebelum di gunakan
c. Pengemasan
Pengemasan merupakan bagian dari suatu pengolahan makanan yang berfungsi untuk pengawetan makanan, mencegah kerusakan mekanis, perubahan kadar air. Teknologi pengemasan perkembangan sangat pesat khususnya pengemas plstik yang dengan drastic mendesak peranan kayu, karton, gelas dan metal sebagai bahan pembungkus primer.
d. Pengalengan
Pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dipak secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba, dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, yang kemudian disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit) dan pembusuk. Pengalengan secara hermetis memungkinkan makanan dapat terhindar dan kebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan cita rasa.
e. Penggunaan Bahan Kimia
Bahan pengawet dari bahan kimia berfungsi membantu mempertahankan bahan makanan dari serangan makroba pembusuk dan memberikan tambahan rasa sedap, manis, dan pewarna. Contoh beberapa jenis zat kimia : cuka, asam asetat, fungisida, antioksidan, in-package desiccant, ethylene absorbent, wax emulsion dan growth regulatory untuk melindungi buah dan sayuran dari ancaman kerusakan pasca panen untuk memperpanjangkesegaran masam pemasaran. Nitogen cair sering digunakan untuk pembekuan secara tepat buah dan sayur sehinnga dipertahankan kesegaran dan rasanya yang nyaman.
f. Pemanasan
penggunaan panas dan waktu dalam proses pemanasan bahan pangan sangat berpengaruh pada bahan pangan. Beberapa jenis bahan pangan seperti halnya susu dan kapri serta daging, sangat peka terhadap susu tinggi karena dapat merusak warna maupun rasanya.
g. Teknik Fermentasi
fermentasi bukan hanya berfungsi sebagai pengawet sumber makanan, tetapi juga berkhasiat bagi kesehatan. Salah satumya fermentasi dengan menggunakan bakteri laktat pada bahan pangan akan menyebabkan nilai pH pangan turun di bawah 5.0 sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri fekal yaitu sejenis bakteri yang jika dikonsumsi akan menyebabkanakan muntah-muntah, diare, atau muntaber





F. Sumber Bahan Makanan / Pangan yang Baik dan Ideal
Menurut Rahayu (2003) sumber bahan makanan / pangan yang baik dan ideal meliputi:
a. Rumah Potong Hewan (RPH) yang diawasi pemerintah dan sebagai tempat pemotongan hewan yang resmi dan memperoleh Nomor Kontrol Veteriner (NKV).
b. Tempat potong lainnya yang diketahui dan diawasi oleh petugas inpektur kehewanan/peternakan.
c. Pusat penjualan bahan makanan dengan system pengaturan suhu yang dikendalikan dengan baik (swalayan).
d. Tempat-tempat penjualan bahan makanan yang diawasi oleh pemerintah daerah dengan baik.
e. Industri pengawetan dan atau distributor bahan makanan yang telah berizin.
f. Perusahaan yang mengkhususkan diri di bidang penjualan bahan makanan mentah dan dikelola sesuai dengan persyaratan kesehatan serta telah diawasi oleh pemerintah.














BAB III
KESIMPULAN

1. Bahan Pangan atau makanan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia
2. Perubahan sifat fisik atau kimia yang tidak diinginkan seperti dibiarkan di udara terbuka pada suhu kamar akan mengalami kerusakan dan kebusukan.
3. Kerusakan bahan pangan dapat dibedakan atas:
a. Kerusakan fisik karena ini disebabkan oleh faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, tekanan benturan, Sayatan, dan lain-lain.
b. Kerusakan kimia karena terjadinya reaksi kimia, baik enzimaris maupun non enzimatis, seperti ketengikan, pencoklatan , dan lain-lain.
c. Kerusakan biologis yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
• Mikroorganisme perusak makanan (kapang, kamir dan bakteri).
• Serangga perusak pangan
4. Cara pengawetan bahan makanan meliputi : pemanasan, pengalengan, pendinginan, pengemasan, penggunaan bahan kimia, teknik fermentasi
5. Kerusakan bahan pangan dapat dideteksi dengan berbagai cara, yaitu:
a. Uji organoleptik
b. Uji fisik
c. Uji kimia
d. Uji mikrobiologis,
1) Uji organoleptik
2) Uji fisik
3) Uji kimia meliputi :
• Uji katalase
• Uji reduksi warna (pada susu dan santan)
• Uji etanol (pada susu)

Nutrient requirements of dairy cows

This chapter:
Explains the specific nutritional needs of cows and how to calculated their energy requirements for major metabolic activities – maintenance, activity, milk production, pregnancy and change in body conditions.

The main point in this chapter:
- Energy requirements change according to cow size, activity, stage of pregnancy, weigh gain or loss and level of milk production
- Protein requirements vary with stage of lactation
- Microbial protein can sustain production of up to 12 L/d. Up to this level of productions, all protein in the diet can be Rumen Degradable Protein (RDP). Beyond this, Un-degradable Dietary Protein (UDP) requirements rise as production increases
- Good quality forage contains both rumen degradable protein and un-degradable protein cows feed good quality forage and producing up to 30 L/d are unlikely to need supplementary un-degradable dietary protein
- This absolute minimum amount of fiber is 30% Neutral Detergent Fiber (NDF) or 17% Crude Fiber (CF)
Dairy cows have an enormous potential to produce animal carbohydrate, protein and fat, but they also have very high nutrient requirements to archive this potential. For example, over 12 months the quantity of protein produced by Friesian cows in milk can vary form 0 to 1 kg/d. This is equivalent to beef steers just maintaining weight through to gaining weight at 8 kg/d, or more four times faster than in commercial herds. To achieve such performance levels, dairy cows must be able to consume up to 4% of their life weight as dry matter each and every day.

6.1 water
Lactating dairy cows in the tropics require 60 to 70 L of water per day for maintenance, plus an extra 4 to 5 L for each litter of milk produced.
Water requirements rise with air temperature. An increase of 40C will increase water requirements y 6 to 7 L/d. High yielding milking cows can drink 150 to 200 L water /d during the hot season.
Other factors influencing water intakes include dry matter intake, diet composition, humidity, wind speed, water quality (sodium and sulphate levels), and the temperature and pH of the drinking water.

6.2 energy
Cows need energy for maintenance, activity, pregnancy, milk production and for gaining body condition.

6.2.1 maintenance
Energy is used for maintaining the cow’s normal metabolism. This include breathing and maintaining body temperature. Physical activities such as walking and eating add to the maintenance requirements, as does environmental temperature and physiological state (is pregnancy, lactation). With most cows in the tropics housed indoors, physical activity is negligible.
The energy needed for maintenance at various live weights is shown in Table 6.1. These values include a 5% safety margin to take into account the energy required to harvest and chew the feeds. Tables 6.1, 6.2, 6.3, 6.4 and 6.6 present energy requirements in both Metabolism Energy (ME) and Total Digestible Nutrients (TDN), calculated using the conversion factor in Chapter 4, by DE Burrell (pers. Comm.. 2003).

Table 6.1 Energy requirements for maintenance
Metabolism Energy (ME), Total Digestible Nutrients (TDN). (Source: Ministry of Agriculture, Fisheries and food 1984)


6.2.2 Activity
An small allowance for grazing and eating activity has been factored into the maintenance requirements in Table 6.1. In flat terrain, an additional 1 MJ ME (or 0.1 kg TDN)/km should be added to provide the energy needed to walk to and form the dairy. In hilly country, this increases up to 5 MJ ME (or 0.4 kg TDN)/km
Walked throughout the day.

6.2.3 pregnancy
A pregnant cow needs extra energy for the maintenance and development of the calf inside her. Form conception through the first five months of pregnancy, the additional energy required is about 1 MJ/d for each month of pregnancy. Energy requirements for pregnancy become significant only in the last four months (Table 6.2).

Table 6.2 average daily energy requirements in the last four months of pregnancy Metabolism Energy (ME), Total Digestible Nutrients (TDN). (Source: Ministry of Agriculture, Fisheries and food 1984)


6.2.4 milk production
Energy is the most important nutrient to produce milk. The energy needed depends on the composition of the milk (is fat and protein content). The following tables present the energy needed to produce 1 L of milk with a range of fat and protein test, in both MJ of Metabolism Energy (Table 6.3) and kg of Total Digestible Nutrients (Table 6.4). High testing milk might need 7.1 MJ of ME (or 0.5 kg TDN)/L, whereas low-testing milk might need only 4.5 MJ of ME (or 0.3 kg TDN)/L of milk.
Dairy industries in many tropical countries do not measure protein contents of milk delivered from small holder farmers, alternatively using Solid-Not-Fat (SNF) content to measure non-fat milk solids. Solids-not-fat comprises the protein, lactose and mineral in milk, with lactose and mineral contents being relatively stable. Assuming lactose is 4.7% and minerals 0.7% milk protein can be calculated as follows:
Milk protein (%) : SNF% - 5.4
Table 6.3 energy needed per litter of milk of varying composition (MJ ME/L)
Metabolism Energy (ME), Total Digestible Nutrients (TDN). (Source: Ministry of Agriculture, Fisheries and food 1984)

Table 6.4 energy needed per litter of milk of varying composition (kg TDN/L)
Metabolism Energy (ME), Total Digestible Nutrients (TDN). (Source: Ministry of Agriculture, Fisheries and food 1984)





















Persyaratan nutrisi untuk ternak sapi perah

Pada bab ini:
Menjelaskan tentang kebutuhan nutrisi yang khusus bagi sapi dan bagaimana untuk menghitung persyaratan energi mereka untuk aktifitasmetabolis utama, seperti pemeliharaan, aktifitas, produksi susu, kebuntingan dan perubahan kondisi tubuh.

Hal utama pada bab ini:
- Perubahan persyaratan energi disesuaikan dengan ukuran sapi, kegiatan, tahap kebuntingan, pertambahan berat badan atau kehilangan berat dan juga tingkat produksi susu
- Perbedaan persyaratan protein dengan tahap laktasi
- Mikroba protein dapat mempertahankan produksi hingga 12 L / hari. Sampai pada tingkat produksi ini, semua protein dalam pakan dapat menjadi Protein Terdegradasi Rumen (PTR). Selebihnya, persyaratan untuk Protein Tidak Terdegradasi (PTT) meningkatkan persyaratan sebagai kenaikan produksi
- Pakan yang berkualitas bagus terdapat dua kandungan didalamnya, yaitu Protein Terdegradasi Rumen (PTR) dan Protein Tidak Terdegradasi (PTT) pakan sapi yang berkualitas baik dan produksi hingga 30 L / hari sehingga tidak mungkin perlu tambahan Protein Tidak Terdegradasi (PTT)
- Jumlah minimum yang absolute untuk serat adalah Netral Detergent Fiber (NDF) 30% atau Serat Kasar / Crude Fiber (CF) 17%

Sapi perah memiliki potensi yang besar untuk menghasilkan karbohidrat hewani, protein dan lemak, tetapi mereka juga mempunyai kebutuhan gizi sangat tinggi untuk mencapai kemungkinan ini. Misalnya, selama 12 bulan dengan jumlah protein yang diproduksi oleh susu sapi Friesian dapat bervariasi dalam bentuk 0 hingga 1 kg / hari. Hal ini setara dengan daging sapi Steers yang hanya mempertahankan berat sampai mendapatkan berat di 8 kg / hari, atau empat kali lebih cepat daripada Commercial Herds. Untuk mencapai tingkat kinerja seperti itu, sapi perah harus dapat mengkonsumsi sampai 4% dari berat hidup mereka sampai masing-masing fase kering setiap hari.

6,1 air
Sapi perah laktasi di daerah tropis memerlukan 60-70 L air per hari untuk pemeliharaan, ditambah ekstra 4-5 L untuk setiap susu yang dihasilkan.
Kenaikan persyaratan air seiring dengan kenaikan suhu udara. Setiap peningkatan 40C akan meningkatkan kebutuhan air sebanyak 6-7 L / hari. Sapi perah yang menghasilkan susu tinggi dapat minum 150-200 L air / hari selama musim panas.
Faktor-faktor lain mempengaruhi pemasukan air termasuk intake saat fase kering, komposisi pakan bebas lemak, kelembaban, kecepatan angin, kualitas air (tingkat sodium dan sulfat), dan suhu serta pH dari air minum.

6,2 energi
Sapi membutuhkan energi untuk pemeliharaan, aktifitas, kebuntingan, produksi susu dan untuk mendapatkan kondisi tubuh.

6.2.1 pemeliharaan
Energi digunakan untuk menjaga sapi sehingga metabolisme dapat normal. Hal ini termasuk bernapas dan menjaga suhu tubuh. Kegiatan fisik seperti berjalan kaki dan makan menambahkan untuk persyaratan pemeliharaan, demikian suhu lingkungan dan fisiologis wilayah (seperti kebuntingan, laktasi). Dengan sebagian besar sapi di daerah tropis menggunakan kandang tertutup, sehingga kegiatan fisik diabaikan.
Energi yang dibutuhkan untuk pemeliharaan menurut berbagai bobot hidup dapat dilihat pada Tabel 6.1. Nilai-nilai ini termasuk 5% batas keselamatan untuk memperhitungkan energi yang diperlukan untuk panen dan mengunyah pakan. Tabel 6.1, 6.2, 6.3, 6.4 dan 6.6 menampilkan kedua persyaratan energi, yaitu Metabolism Energi (ME) dan total nutrient yang mudah dicerna (TDN), dihitung dengan menggunakan faktor konversi dalam Bab 4, oleh DE Burrell (pers. Comm . 2003).

Tabel 6.1 Energi yang dibutuhkan untuk pemeliharaan
Energi metabolisme (ME), total nutrient yang mudah dicerna (TDN). (Sumber: Departemen Pertanian, Perikanan dan Makanan 1984)
Berat hidup Permntaan energi setiap hari
ME (MJ/hari) TDN (kg/hari)
100
150
200
250
300
350
400
450
500
550
600 17
22
27
31
36
40
45
49
54
59
63 1,2
1,5
1,9
2,2
2,5
2,8
3,1
3,4
3,8
4,1
4,4


6.2.2 aktifitas
Tunjangan yang kecil untuk penggembalaan dan aktivitas makan telah menjadi faktor yang menjadi persyaratan pemeliharaan dalam Tabel 6.1. Dalam daerah datar, tambahan 1 MJ ME (atau 0,1 kg TDN) / km perlu ditambahkan untuk memberikan energi yang diperlukan untuk berjalan dan membentuk susu. Perbukitan di negara ini meningkat hingga 5 MJ ME (atau 0,4 kg TDN) / km untuk berjalan sepanjang hari.

6.2.3 kebuntingan
Seekor sapi yang bunting membutuhkan energi ekstra untuk pemeliharaan dan perkembangan anak sapi di dalam kandungan. Bentuk konsep melalui lima bulan pertama dari kebuntingan, tambahan energi yang dibutuhkan adalah sekitar 1 MJ / hari untuk setiap bulan kebuntingan. Kebutuhan energi untuk kebuntingan menjadi penting hanya pada saat empat tahun terakhir (Tabel 6,2).

Tabel 6,2 kebutuhan energi rata-rata harian dalam empat bulan terakhir kebuntingan
Metabolism Energi (ME), Total mudah dicernakan gizi (TDN). (Sumber: Departemen Pertanian, Perikanan dan makanan 1984)
Bulan kebuntingan Dibutuhkan energi tambahan untuk sehari-hari
ME (MJ/hari) TDN (kg/hari)
Keenam
Ketujuh
Kedelapan
Kesembilan 8
10
15
20 0,6
0,7
1,1
1,4

6.2.4 produksi susu
Energi adalah nutrient paling penting untuk menghasilkan susu. Energi yang dibutuhkan tergantung pada komposisi dari susu (protein dan lemak adalah konten). Tabel berikut ini memberikan energi yang diperlukan untuk menghasilkan 1 L susu dengan berbagai tes protein dan lemak, baik dari MJ Metabolism Energi (Tabel 6,3) dan kg dari total nutrient yang mudah dicerna (Tabel 6,4). Susu dengan pengujian yang tinggi mungkin diperlukan7,1 MJ ME (atau 0,5 kg TDN) / L, sedangkan susu dengan pengujian rendah mungkin hanya perlu 4,5 MJ dari ME (atau 0,3 kg TDN) / L susu.
Industri susu di banyak negara-negara tropis tidak mengukur kadar protein pada pengiriman susu dari pemegang peternak kecil, kalau menggunakan solid yang tidak berlemak (SNF) untuk mengukur kadar salid susu yang tidak berlemak. Solids yang tidak ada lemak terdiri atas protein, laktosa dan mineral dalam susu, dengan kadar laktosa dan mineral yang relatif stabil. Laktosa yang akan diambil adalah 4,7% dan mineral sebesar 0,7%, protein susu dapat dihitung sebagai berikut:
Protein Susu (%): SNF% - 5,4

Tabel 6,3 energi yang diperlukan per liter susu dari berbagai komposisi (MJ ME / L)
Energi metabolisme (ME), Total mudah dicernakan gizi (TDN). (Sumber: Departemen Pertanian, Perikanan dan makanan 1984)
Lemak (%) Protein (%)
2,6 2,8 3,0 3,2 3,4 3,6 3,8 4,0 4,2 4,4
3,0
3,2
3,4
3,6
3,8
4,0
4,2
4,4
4,6
4,8
5,0
5,2
5,4
5,6
5,8
6,0 4,5
4,6
4,7
4,9
5,0
5,1
5,3
5,4
5,5
5,6
5,8
5,9
6,0
6,2
6,3
6,4 4,5
4,7
4,8
4,9
5,1
5,2
5,3
5,5
5,6
5,7
5,8
6,0
6,1
6,2
6,4
6,5 4,6
4,7
4,9
5,0
5,1
5,3
5,4
5,5
5,7
5,8
5,9
6,0
6,2
6,3
6,4
6,6 4,7
4,8
4,9
5,1
5,2
5,3
5,5
5,6
5,7
5,9
6,0
6,1
6,3
6,4
6,5
6,6 4,8
4,9
5,0
5,1
5,3
5,4
5,5
5,7
5,8
5,9
6,1
6,2
6,3
6,5
6,6
6,7 4,8
5,0
5,1
5,2
5,3
5,5
5,6
5,7
5,9
6,0
6,1
6,3
6,4
6,5
6,7
6,8 4,9
5,0
5,2
5,3
5,4
5,5
5,7
5,8
5,9
6,1
6,2
6,3
6,4
6,5
6,7
6,9 5,0
5,1
5,2
5,4
5,5
5,6
5,7
5,9
6,0
6,1
6,3
6,4
6,5
6,7
6,8
6,9 5,0
5,2
5,3
5,4
5,6
5,7
5,8
6,0
6,1
6,2
6,3
6,5
6,6
6,7
6,9
7,0 5,1
5,2
5,4
5,5
5,6
5,8
5,9
6,0
6,2
6,3
6,4
6,5
6,7
6,8
6,9
7,1








Tabel 6,4 energi yang diperlukan per liter susu dari berbagai komposisi (TDN kg / L)
Energi metabolisme (ME), Total mudah dicernakan gizi (TDN). (Sumber: Departemen Pertanian, Perikanan dan makanan 1984)

Lemak (%) Protein (%)
2,6 2,8 3,0 3,2 3,4 3,6 3,8 4,0 4,2 4,4
3,0
3,2
3,4
3,6
3,8
4,0
4,2
4,4
4,6
4,8
5,0
5,2
5,4
5,6
5,8
6,0 0,3
0,3
0,3
0,3
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,5 0,3
0,3
0,3
0,3
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,5
0,5 0,3
0,3
0,3
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,5
0,5 0,3
0,3
0,3
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,5
0,5
0,5 0,3
0,3
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,5
0,5
0,5 0,3
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,5
0,5
0,5
0,5 0,3
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,5
0,5
0,5
0,5 0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,5
0,5
0,5
0,5 0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5 0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5

MAKALAH MANAJEMEN PEMELIHARAAN DAN PERAWATAN SAPI PERAH DARA (HEIFERS)

BAB I
PENDAHULUAN

Mulai umur 3 bulan pedet sudah dapat dikategorikan sebagi sapi perah dara dan sudah dapat dikeluarkan dari kandang untuk melakukan gerakan badan di tempat yang terlindung. Sapi dara yang tidak diberi kesempatan melakukan gerak badan akan mengalami pertumbuhan yang terhambat dan kelemahan pada badan dan bagian kakinya mengingat hewan ini sejak kecil selalu terkurung bahkan terikat di dalam kandang pedet. Setelah berumur 3 bulan sapi dara sebaiknya ditempatkan di dalam kandang kelompok yang berjumlah anrtara 3-4 ekor, dengan jenis kelamin, umur dan berat badan yang seragam (Soetarno, 2003).
Pedet sapi perah umumnya sudah mulai disapih pada umur 3 bulan. Meski adakalanya dijumpai penyapihan yang dilakukan pada umur yang lebih atau kurang dari 3 bulan. Apabila dilakukan penyapihan dini pedet harus dalam kondisi sehat dan sudah mengkonsumsi konsentrat formula pedet (calf starter) sebanyak 0,5 kg/hari atau lebih. Pedet yang sudah mengkonsumsi konsentrat berkualitas tinggi dan disapih secara dini, akan mengalami masa transisi menjadi hewan ruminansia sejati yang lebih cepat. Pedet betina sapi perah setelah disapih sampai dengan bunting dan melahirkan anak pertama disebut sebagai sapi perah dara (heifers) (Sotarno, 2003).
Bahan makanan harus menyediakan zat-zat makanan yang dapat digunakan untuk membangun dan menggantikan bagian-bagian tubuh dan menghasilkan produk seperti susu, telur, dan woll (Anggorodi, 1994). Didalam memilih bahan baku pakan untuk menyusun ransum harus diperhatikan faktor-faktor seperti palatabilitas, nilai gizi, mudah diperoleh, tersedia sepanjang waktu, harga murah dan tidak mengandung racun (Chuzaemi dan hartutik, 1988).
Penyediaan bahan baku sangat penting dalam menunjang proses produksi perusahaan. Tanpa adanya persediaan bahan baku yang memadai dapat mengakibatkan proses produksi terganggu. Implikasi dari pengadaan bahan baku ini adalah timbulnya biaya-biaya seperti biaya pemasaran dan biaya penyimpanan bahan baku (Prawirosentono, 2001).
BAB II
MANAGEMEN SAPI PERAH DARA (HEIFERS)
A. Managemen Pemeliharaan Sapi Dara
Heifers yang terlalu gemuk menyimpan lemak di ambingnya, dimana nantinya akan menghambat pembentukan sel-sel yang mensekresi susu. Jika heifers terlalu gemuk, mungkin akan terjadi akumulasi lemak pada saluran reproduksi mereka sehingga bisa mengakibatkan berkurangnya fertilitas dan dapat mrnimbulkan distochia. Heifers yang lebih tua dan terlalu gemuk akan lebih mudah mengalami gangguan metabolisme seperti sapi laktasi pada saat calving. Heifers yang terlalu kurus juga akan mengalami penurunan fertilitas serta dikhawatirkan akan menimbukan masalah kesehatan yang lain dibandingkan dengan heifers yang bobot badannya berukuran ideal dan tumbuh secara baik.
1. Tujuan Pembesaran Sapi Perah Dara
Heifers atau sapi perah betina merupakan sapi perah betina yang merupakan calon induk sudah dewasa kelamin (berumur 6-8 bulan) sampai beranak pertama kali. Mengingat tujuan utamanya sebagai calon induk maka perlu sekali diperhatikan kriteria-kriteria sebagai calon induk, antara lain :
a. Berasal dari turunan yang mempunyai produksi susu yang tinggi
b. Menunjukan pretumbuhan yang baik dan normal
c. Bebas dari cacat tubuh dan penyakit
Pembesaran sapi perah dara untuk dijadikan calon induk ditujukan terhadap dua kepentingan, yaitu:
1) Pengganti Induk
Pada suatu usaha sapi perah sangat sering terjadi adanya pengeluaran (culling) sapi perah induk dalam setiap tahunnya yang mencapai prosentase 25%. Oleh karena itu, jumlah sapi dara yang akan dijadikan seagai induk pengganti (replacement stock) seharusnya disesuaikan dengan jumlah induk yang akan di culling dan ditambah dengan jumlah mortalitas yang mungkin terjadi pada sapi dara tersebut.
2) Pengembangan Usaha
Pengembangan usaha dengan cara menambah populasi induk dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
a) Membesarkan sapi perah dara yang berasal dari turunan sapi perah sendiri (self replacement).
b) Membeli dari luar (new comer replacement).
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan sapi perah dara (heifers) :
a. Bangsa sapi
b. Besar waktu lahir, mempunyai daya lebih besar untuk tumbuh pada waktu dewasa
c. Pertumbuhan pada periode pedet sampai umur 6 bulan
d. Pengaruh pakan
e. Pengaruh kebuntingan pada waktu pertumbuhan
3. Penyiapan Sarana dan Peralatan
Kandang dapat dibuat dalam bentuk ganda atau tunggal, tergantung dari jumlah sapi yang dimiliki. Pada kandang tipe tunggal, penempatan sapi dilakukan pada satu baris atau satu jajaran, sementara kandang yang bertipe ganda penempatannya dilakukan pada dua jajaran yang saling berhadapan atau saling bertolak belakang. Diantara kedua jajaran tersebut biasanya dibuat jalur untuk jalan.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjaga agar ternak nyaman sehingga dapat mencapai produksi yang optimal, yaitu :
• Persyaratan secara umum :
a. Ada sumber air atau sumur
b. Ada gudang makanan atau rumput atau hijauan
c. Jauh dari daerah hunian masyarakat
d. Terdapat lahan untuk bangunan dengan luas yang memadai dan berventilasi
e. Transportasi mudah
f. Daerah yang tidak rawan bencana serta iklim yang cocok bagi ternak
g. Kandang menghadap ke timur, dimungkinkan adanya intensitas sinar matahari
h. Kebersihan kandang terjaga
• Persyaratan secara khusus :
a. Ukuran kandang yang dibuat untuk sapi betina dewasa adalah 1,8 x 2 m, dengan tinggi atas ± 2-2,5 m dari tanah.
b. Ukuran bak pakan : panjang x lebar = bersih 60 x 50 cm
c. Ukuran bak minum : panjang x lebar = bersih 40 x 50 cm
d. Tinggi bak pakan dan minum bagian dalam 40 cm (tidak melebihi tinggi persendian siku sapi) dan bagian luar 80 cm
e. Tinggi penghalang kepala sapi 100 cm dari lantai kandang
f. Lantai jangan terlalu licin dan terlalu kasar serta dibuat miring (bedakan ± 3 cm). Lantai kandang harus diusahakan tetap bersih guna mencegah timbulnya berbagai penyakit. Lantai terbuat dari tanah padat atau semen, dan mudah dibersihkan dari kotoran sapi. Lantai tanah dialasi dengan jerami kering sebagai alas kandang yang hangat.
g. Selokan bagian dalam kandang untuk pembuangan kotoran, air kencing dan air bekas mandi sapi : Lebar (L) x Dalam selokan (D) = 35 x 15 cm
h. Selokan bagian luar kandang untuk pembuangan bekas air cucian bak pakan dan minum : L x D = 10 x 15 cm
i. Tinggi tiang kandang sekurang-kurangnya 200 cm dari lantai kandang
j. Atap kandang dibuat dari genteng serta luas atap 50 cm lebih luas dari bangunan sehingga air hujan tidak masuk.
k. Letak kandang diusahakan lebih rendah dari sumber air dan lebih tinggi dari lokasi tanaman rumput. (Hasanudin, 1988). Lokasi pemeliharaan dapat dilakukan pada dataran rendah (100-500 m) hingga dataran tinggi (> 500 m). Temperatur di sekitar kandang 25-40 derajat C (rata-rata 33 derajat C) dan kelembaban 75%.
Seluruh bagian kandang dan peralatan yang pernah dipakai harus disuci hamakan terlebih dahulu dengan desinfektan, seperti creolin, lysol, dan bahan-bahan lainnya.
4. Macam Kandang Sapi Dara :
a. Kandang tunggal, hanya satu baris
b. Kandang ganda, di sebut juga tail to tail dan saling berhadapan
5. Bahan Kandang
Kerangka kandang dari bambu, kayu, besi, ataupun beton disesuaikan dengan model dan biaya. Atap yang digunakan bisa dari bahan alang-alang, ijuk, rumbia, genteng, asbes, seng. Jika memilih untuk ukuran rendah lebih baik menggunakan seng dengan tiang yang lebih tinggi.
6. Kontruksi dan Peralatan Kandang
a. Tradisional
Bangunan sederhana, atap dari rumbia, genteng dan lantai dari tanah sedangkan peralatanya berupa tempat makan dan minum dari ember plastik. Hijauan disebarkan ke lantai bercampur dengan kotoran atau limbah lain
b. Semi-modern
Atap dari genteng dan dinding dari beton atau kayu, sanitasi lebih baik. Sedangkan peralatan berupa tempat makan dan minum yang berasal dari bahan beton terkadang pula menggunakan ember
c. Modern
Biasanya digunakan oleh perusahan-perusahan besar, lantai dari beton/batu, sanitasi baik. Peralatan yang digunakan serba canggih dari beton dan besi sementara itu tempat minum serba otomatis




7. Contoh Bentuk Kandang









Gambar 1 Kandang sapi perah FH (ortogonal)












Gambar 2 Bentuk geometri kandang sapi perah FH
8. Pembibitan dan pemeliharaan bakalan/bibit
Sapi perah yang cocok dipelihara di Indonesia adalah sapi Shorthorn (dari Inggris), Friesian Holstein (dari Belanda) dan Yersey (dari selat Channel antara Inggris dan Perancis). Agar dapat memperoleh bibit sapi perah yang baik diperlukan adanya seleksi baik berdasarkan silsilah, bentuk luar atau antomis maupun berdasarkan jumlah produksi. Ciri-ciri sapi perah betina yang baik:
a. Kepala panjang , sempit, halus, sedikit kurus dan tidak banyak berotot
b. Leher panjang dan lebarnya sedang, besarnya gelambir sedadang dan lipatan-lipatan kulit leher halus
c. Pinggang pendek dan lebar
d. Gumba, punggung dan pinggang merupakan garis lurus yang panjang
e. Kaki kuat, tidak pincang dan jarak antara paha lebar
f. Badan berbentuk segitiga, tidak terlalu gemuk dan tulang-tulang agak menonjol (BCS umumnya 2)
g. Dada lebar dan tulang -tulang rusuk panjang serta luas
h. Ambing besar, luas, memanjang kedepan kearah perut dan melebar sampai diantara paha. Kondisi ambing lunak, elastis dan diantara keempat kuartir terdapat jeda yang cukup lebar. Dan saat sehabis diperah ambing akan terlimpat dan kempis, sedangkam sebelum diperah gembung dan besar.
i. Produksi susu tinggi,
j. Umur 3,5-4,5 tahun dan sudah pernah beranak,
k. Berasal dari induk dan pejantan yang mempunyai keturunan produksi susu tinggi,
l. Tubuh sehat dan bukan sebagai pembawa penyakit menular, dan
m. Tiap tahun beranak.
9. Kesehatan
Gangguan dan penyakit dapat mengenai ternak sehingga untuk membatasi kerugian ekonomi diperlukan control untuk menjaga kesehatan sapi menjadi sangat penting. Manjememen kesehatan yang baik sangat mempengaruhi kesehatan sapi perah. Gangguan kesahatan pada sapi perah terutama berupa gangguan klinis dan reproduksi. Gangguan reproduksi dapat berupa hipofungsi, retensi plasenta,kawin berulang, endometritis dan mastitis baik kilnis dan subklinis. Sedangkan gangguan klinis yang sering terjadi adalah gangguan metabolisme (ketosis, bloot, milk fever dan hipocalcemia), panaritium, enteritis, displasia abomasum dan pneumonia. Adanya gangguan penyakit pada sapi perah yang disertai dengan penurunan produksi dapat menyebabkan sapi dikeluarkan dari kandang atau culling. Culling pada suatu peternakan tidak boleh lebih dari 25, 3%. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk pemeliharaan sapi dengan melihat body condition scoring, nilai BCS yang ideal adalah 3,5 (skala 1-5). Jika BCS lebih dari 4 dapat menyebabkan gangguan setelah melahirkan seperti mastitis, retensi plasenta, distokia, ketosis dan panaritium. Sedangkan kondisi tubuh yang kurus menyebabkan produksi susu menurun dengan kadar lemak yang rendah. Selain itu faktor-faktor yang perlu diperhatikan didalam kesehatan sapi perah adalah lingkungan yang baik, pemerahan yang rutin dan peralatan pemerahan yang baik.
B. Manajemen Pemeberian Pakan Sapi Dara
Pakan sapi terdiri dari hijauan sebanyak 60% (Hijauan yang berupa jerami padi, pucuk daun tebu, lamtoro, rumput gajah, rumput benggala atau rumput raja, daun jagung, daun ubi dan daun kacang-kacangan) dan konsentrat (40%). Umumnya pakan diberikan dua kali per hari pada pagi dan sore hari. Pemberian pakan pada sapi perah dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu system penggembalaan, system perkandangan atau intensif dan system kombinasi keduanya. Pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan sebanyak 10% dari bobot badan (BB) dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari BB. Sapi yang sedang menyusui (laktasi) memerlukan makanan tambahan sebesar 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya. Hijauan yang berupa rumput segar sebaiknya ditambah dengan jenis kacang-kacangan (legum).
Untuk sapi dara lepas sapih (umur 3 bulan-6 bulan), pemberian pakan starter (calf starter) mulai digantikan dengan formula pakan konsentrat dengan komposisi pakan protein kasar lebih dari 16 % dan TDN lebih dari 70 %. Adapun pemberian konsentrat ini dilakukan dengan cara bertahap dan di batasi maksimum 2 kg/ekor/hari. Sapi dara berumur 6 bulan keatas sudah mampu mencerna bahan makanan yang serat kasarnya tinggi karena daya cernanya sudah sempurna. Makanan terdiri dari hijauan rumput 20 kg/hari/ekor yang mengandung 12 % atau 13 % protein kasar. Apabila dalam pemeliharaanya berada pada kondisi tropis, makan perlu di tambahkan makanan penguat sebanyak 1-1,5 kg/ekor/hari, dan apabila hijauan jelek makan cukup sekali di beri konsentrat 2-3 kg/ekor/hari.
Sumber karbohidrat berupa dedak halus atau bekatul, ampas tahu, gaplek, dan bungkil kelapa serta mineral (sebagai penguat) yang berupa garam dapur, kapur, dll. Pemberian pakan konsentrat sebaiknya diberikan pada pagi hari dan sore hari sebelum sapi diperah sebanyak 1-2 kg/ekor/hari. Selain makanan, sapi harus diberi air minum sebanyak 10% dari berat badan perhari.Pemeliharaan utama adalah pemberian pakan yang cukup dan berkualitas, serta menjaga kebersihan kandang dan kesehatan ternak yang dipelihara. Pemberian pakan secara intensif dikombinasikan dengan penggembalaan Di awal musim kemarau, setiap hari sapi digembalakan. Di musim hujan sapi dikandangkan dan pakan diberikan menurut jatah. Penggembalaan bertujuan pula untuk memberi kesempatan bergerak pada sapi guna memperkuat kakinya.
Hal - hal yang perlu diperhatikan apabila ternak dilepas di padang rumput :
a. Apakah sapi tersebut sudah terbiasa makan makanan yang mengandung serat kasar
b. Harus diperhatikan apakah tubuhnya sudah terkenan parasit luar berupa caplak ataupun tidak dan tubuhnya terkena jamur (Ring Worm)
Pelepasan di padang rumput merupakan cara yang baik selain ekonomis juga karena terdiri dari leguminose yang banyak mengandung protein. Pemberian pakan di padang rumput yang baik sering di sebut “ Pasture Feeding”, bila padang rumput yang biasa di sebut “field”. Dua bulan menjelang melahirkan sapi di beri konsentrat 2,72 – 4,54 kg/ hari. Elanco Animal Health memperkenalkan / mempublikasikan sebuah booklet ”BCS For Replacement Heifers” yang menunjukkan heifers pada berbagai BCS. Pada umunya heifers akan memiliki BCS yang lebih kecil dibandingkan heifers dengan usia 6 bulan yang memiliki BCS antara 2-3. Biasanya BCS heifers tidak lebih dari 3,5. Disarankan untuk mengatur pola makan heifers agar memiliki BCS 3,5. Heifers dari usia 6 bulan sampai kawin, diharapkan memiliki BCS antara 2,5-3. Setelah itu, pada saat kawin BCS mereka akan naik berangsur-angsur dari 3 menjadi 5.
Pakan yang diberikan kepada sapi dalam keadaan fresh feed, keunggulan dari pemberian pakan secara fresh feed dari keadaan pakan yang segar dan aroma yang harum, dapat meningkatkan palatabilitas makan sapi sehingga kebutuhan untuk mencukupi kebutuhan pokok dan kebutuhan produksi dapat segera tersedia kembali. Pakan diberikan sesuai kebutuhan nutrisi sapi perah dalam keadaan fresh feed bertujuan agar kualitas pakan yang diberikan tetap baik kandungan nutrisinya.
Tujuan pemberian pakan fresh ini yaitu untuk meningkatkan palatabilitas makan sapi, sehingga pada saat sapi selesai diperah dan balik lagi ke kandang, bisa langsung makan dengan kondisi pakan yang diberikan fresh. Hal ini dapat menarik perhatian sapi agar tidak langsung tidur diatas bedding pada saat selesai diperah, dan dapat memberikan kesempatan kepada otot puting (spincter) yang terbuka pada saat diperah sehingga pada saat sapi makan otot tersebut dapat tertutup kembali dengan sempurna, dan dapat mencegah bakteri untuk masuk kedalam ambing yang dapat menyebabkan penyakit mastitis.
C. Pemberian Air Minum
Air merupakan zat yang penting bagi kehidupan, dan diperlukan oleh setiap makluk hidup. Dalam sebuah usaha peternakan, air merupakan unsur yang penting, salah satunya digunakan sebagai air minum untuk ternak. Sapi perah sebaiknya diberikan air minum yang bersih dan segar, dan air minum disediakan ad libitum. Pengisian air dilakukan secara manual oleh petugas kandang. Menurut Wattiaux (2003), pemberian air bersih yang segar harus tersedia secepat mungkin pada saat pakan diberikan, konsumsi dari bahan kering ditingkatkan oleh konsumsi air yang diberikan. Pemberian air minum untuk sapi dewasa disediakan dump tank system di dalam kandang, dilengkapi dengan pelampung sistem yang berfungsi menjaga air dalam dump tank agar selalu dalam keadaan penuh.
D. Reproduksi dan Managemen Perawatan Sapi Dara
Perkawinan adalah suatu usaha untuk memasukan sperma ke dalam alat kelamin betina. Perkawinan pertama seekor sapi perah dara tergantung pada 2 faktor utama yaitu umur dan berat badan. Apabila perkawinan sapi perah dara terlalu cepat dengan kondisi tubuh yang terlalu kecil, maka akibat yang terjadi adalah :
a. Kesulitan melahirkan
b. Keadaan tubuhnya yang tetap kecil nantinya setelah menjadi induk sehingga dapat berakibat kemandulan dan rendahnya produksi susu
Sapi perah dara sudah siap dikawinkan setelah mencapai umur 15 - 18 bulan dengan berat rata-rata 300 kg, Hal tersebut disebabkan karena sapi yang bersangkutan telah mendapatkan pakan yang cukup dan mencapai berat badan yang di kehendaki serta agar pada kisaran umur 28-30 bulan dapat beranak. Perkawinan sapi perah dara di Indonesia tidak disarankan menggunakan IB, sebab dapat dikhawatirkan pada waktu pertama kali beranak dan masih dalam fase pertumbuhan tersebut akan mengalami kesulitan sewaktu melahirkan karena besar pedet hasil IB yang dilahirkan. IB baru dianjurkan pada induk-induk sapi PFH yang beranak untuk kedua kalinya sampai seterusnya. Sapi perah dara FH dan Brown Swiss memerlukan berat badan 350 kg - 375 kg untuk perkawinan yang pertama, PFH pada berat 275 kg. Sedangkan Guernsey dan Aryshire pada berat badan 250 - 275 kg dan Jersey pada berat badan lebih kurang 225 kg.
D. Sistem Perkawinan Sapi Perah Dara
Sistem perkawinan merupakan sebuah gambaran dari beberapa metode perkawinan untuk program pengembakbiakan sapi. Masa berahi seekor sapi cukup singkat, maka perlu pengamatan secara teliti terhadap tanda - tanda berahi seekor ternak agar program perkawinan dapat berjalan sesuai rencana. Sistem perkawinan ternak dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Perkawinan Alami
Perkawinan alami dilakukan oleh seekor pejantan yang langsung memancarkan sperma kedalam alat reproduksi betina dengan cara kopulasi. Terlebih dahulu pejantan mendeteksi kondisi berahi betina dengan menjilati atau membau di sekitar organ reproduksi betina bagian luar setelah itu pejantan melakukan penetrasi.
2. Perkawinan Buatan
Perkawinan buatan sering dikenal dengan Inseminasi Buatan (IB) atau Artificial Insemination (AI) yaitu dengan cara memasukkan sperma kedalam saluran reproduksi betina dengan menggunakan peralatan khusus (Blakely dan Bade, 1988). Melalui inseminasi buatan (IB), sapi tersebut menunjukkan gejala-gejala berahi dan mencocokkan data yang ada dalam satu siklus. Keuntungan IB, seekor jantan dapat melayani 5000-10.000 ekor sapi betina per tahun dan memperoleh keuntungan lain yaitu keturunan lebih baik dari induknya. Sapi dara dapat di kawinkan bila menunjukan tanda-tanda birahi. Siklus birahi rata-rata pada sapi perah berkisar 21 hari, tetapi ada juga yang bervariasidari 17 - 36 hari.
Perkawinan pertama sapi PFH dara di Indonesia tidak disarankan menggunakan IB, sebab dikuatirkan sapi yang baru pertama kali beranak dan masih dalam fase pertumbuhan tersebut akan mengalami kesulitan sewaktu melahirkan, karena besarnya pedet hasil IB yang dilahirkannya. IB baru dianjurkan pada induk-induk PFH yang beranak untuk kedua kali dan seterusnya.
Tanda-tanda birahi umum pada sapi dara :
a. Menaiki sapi-sapi lain, yang birahi menaiki sapi betina yang tidak birahi
b. Mempunyai rasa lebih dekat dengan yang lain , senantiasa mengikuti sapi lain, menyenderkan kepala di bagian belakang, menciumi dan mienjilati sapi lain
c. Keluar lender bening dari vulva
d. Vulva membengkak, lembab dan permukaan lebih halus sedangkan sapi yang tidak birahi vulva mengkerut
Selain itu perlu diketahui adanya Silent heat. Silent heat dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan pada hewan betina dimana hewan betina tersebut tidak menunjukkan gejala birahi tetapi proses ovulasi tetap terjadi (aktivitas siklus ovarium tetap normal) (Anonim c, 2004). Menurut Kidder et.al kasus silent heat pada sapi yang terjadi pada rentang waktu antara melahirkan sampai 60 hari pasca melahirkan dapat mencapai 44,3% dan antara hari ke-60 sampai 308 hari pasca melahirkan sebesar 11,0 %. Pada hewan betina yang mengalami estrus maka secara umum pada pemeriksaan melalui vagina dengan menggunakan spikulum atau vaginoskop akan terlihat adanya hyperemia pada permukaan mukosa vagina, relaksasi dinding serviks, dan adanya sedikit lendir birahi pada vagina.
BAB III
KESIMPULAN

a. Sapi perah betina atau heifers merupakan sapi perah betina yang merupakan calon induk sudah dewasa kelamin (berumur 6-8 bulan) sampai beranak pertama kali
b. Gangguan kesahatan pada sapi perah terutama berupa gangguan klinis dan reproduksi
c. Sapi perah sebaiknya diberikan air minum yang bersih dan segar, dan air minum disediakan ad libitum
d. Pemberian pakan pada sapi perah dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu system penggembalaan, system perkandangan atau intensif dan system kombinasi keduanya
e. Teknik manajemen perkawinan sapi perah dapat dilakukan degan menggunakan:
a. Teknik kawin alam dengan pejantan alam
b. Teknik inseminasi buatan (IB)
f. Perkawinan pertama sapi PFH dara di Indonesia tidak disarankan menggunakan IB, sebab dikuatirkan sapi yang baru pertama kali beranak dan masih dalam fase pertumbuhan tersebut akan mengalami kesulitan sewaktu melahirkan

PERKAWINAN PERTAMA PADA SAPI PERAH DARA

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam rangka menghadapai swasembada daging sapi tahun 2010 diperlukan peningkatan populasi sapi potong secara nasional dengan cara meningkatkan jumlah kelahiran pedet dan calon induk sapi dalam jumlah besar. Salah satu faktor penyebab rendahnya perkembangan populasi sapi adalah manajemen perkawinan yang tidak tepat, yakni: (1) pola perkawinan yang kurang benar, (2) pengamatan birahi dan waktu kawin tidak tepat, (3) rendahnya kualitas atau kurang tepatnya pemanfaatan pejantan dalam kawin alam dan (4) kurang terampilnya beberapa petugas serta (5) rendahnya pengetahuan peternak tentang kawin suntik/IB.
Perkawinan adalah suatu usaha untuk memasukan sperma ke dalam alat kelamin betina. Perkawinan pertama seekor sapi perah dara tergantung pada 2 faktor utama yaitu umur dan berat badan. Apabila perkawinan sapi perah dara terlalu cepat dengan kondisi tubuh yang terlalu kecil, maka akibat yang terjadi adalah :
a. Kesulitan melahirkan
b. Keadaan tubuhnya yang tetap kecil nantinya setelah menjadi induk sehingga dapat berakibat kemandulan dan rendahnya produksi susu
Sapi perah dara sudah siap dikawinkan setelah mencapai umur 15 - 18 bulan, Hal tersebut disebabkan karena sapi yang bersangkutan telah mendapatkan pakan yang cukup dan mencapai berat badan yang di kehendaki. Perkawinan sapi perah dara di Indonesia tidak disarankan menggunakan IB, sebab dapat dikhawatirkan pada waktu pertama kali beranak dan masih dalam fase pertumbuhan tersebut akan mengalami kesulitan sewaktu melahirkan karena besar pedet hasil IB yang dilahirkan. IB baru dianjurkan pada induk-induk sapi PFH yang beranak untuk kedua kalinya sampai seterusnya. Sapi perah dara FH dan Brown Swiss memerlukan berat badan 350 kg - 375 kg untuk perkawinan yang pertama, PFH pada berat 275 kg. Sedangkan Guernsey dan Aryshire pada berat badan 250 - 275 kg dan Jersey pada berat badan lebih kurang 225 kg.
BAB II
ISI

A. Sistem Perkawinan Sapi Perah Dara
Sistem perkawinan merupakan sebuah gambaran dari beberapa metode perkawinan untuk program pengembakbiakan sapi. Masa berahi seekor sapi cukup singkat, maka perlu pengamatan secara teliti terhadap tanda - tanda berahi seekor ternak agar program perkawinan dapat berjalan sesuai rencana. Sistem perkawinan sapi perah dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Perkawinan Alami
Perkawinan alami dilakukan oleh seekor pejantan yang langsung memancarkan sperma kedalam alat reproduksi betina dengan cara kopulasi. Terlebih dahulu pejantan mendeteksi kondisi berahi betina dengan menjilati atau membau di sekitar organ reproduksi betina bagian luar setelah itu pejantan melakukan penetrasi.
Sapi dara yang berahi tidak langsung dikawinkan, melainkan diperiksa kondisi fisiologinya, yaitu dengan melihat bobot badan sebagai acuan bahwa sapi dara tersebut sudah dewasa kelamin. Menurut Lindsay et al. (1982) pada beberapa keadaaan, perkawinan betina sengaja ditunda dengan maksud agar induk tidak terlalu kecil waktu melahirkan. Induk yang terlalu kecil pada waktu melahirkan maka kemungkinan akan terjadi distokia. Umur ternak betina pada saat pubertas mempunyai variasi yang lebih luas daripada bobot badan pada saat pubertas (Nuryadi, 2006). Hal ini berarti bahwa bobot badan lebih berperan terhadap pemunculan pubertas daripada umur ternak. Umur dan bobot badan pubertas dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik. Walaupun umur dari sapi dara sudah cukup untuk dikawinkan atau dengan kata lain sudah mengalami dewasa tubuh tidak berarti mengalami dewasa kelamin.
Alasan bahwa sapi dara harus mengalami dewasa kelamin adalah membantu dalam proses kelahiran, karena kelahiran yang tidak normal banyak terdapat pada sapi-sapi yang baru pertama kali melahirkan. Intensifikasi Kawin Alam ini dapat dilakukan oleh berbagai macam cara,diantaranya adalah :
a. Perkawinan model kandang individu
b. Perkawinan model kandang kelompok
c. Perkawinan model mini Ranch (paddock)
d. Perkawinan padang pengembalaan (angonan)
Hasil perkawinan alam ini tidak diragukan keberhasilanya. Menurut kejadian alamnya, perkawinan hanya mungkin terjadi antara sapi jantan dan sapi betina birahi yang merupakan periode sapi betina mau menerima sapi jantan. Cara pengaturan perkawinan pada sapi dapat dilakukan dengan pengaturan sepenuhnya oleh manusia yang disebut “Hand Mating”, di mana pemeliharaan yang jantan dan betina dipisah dan bila ada betina yang birahi diambilkan pejantan untuk mengawininya. Cara yang lain yaitu “Pastura Mating”, dimana sapi jantan dan betina dewasa pada musim kawin dilepas secara bersama. Bila ada sapi yang birahi tanpa campur tangan manusia akan terjadi perkawinan.
Untuk melaksanakan perkawinan perlu diperhatikan waktu yang tepat agar betina dapat terjadi bunting (konsepsi). Saat optimum terjadinya konsepsi pada ternak sapi adalah pertengahan estrus sampai akhir estrus.
2. Perkawinan Buatan
Perkawinan buatan sering dikenal dengan Inseminasi Buatan (IB) atau Artificial Insemination (AI) yaitu dengan cara memasukkan sperma kedalam saluran reproduksi betina dengan menggunakan peralatan khusus (Blakely dan Bade, 1998). Melalui inseminasi buatan (IB), sapi tersebut menunjukkan gejala-gejala berahi dan mencocokkan data yang ada dalam satu siklus.
Tujuan Inseminasi Buatan
a. Memperbaiki mutu genetika ternak;
b. Tidak mengharuskan pejantan unggul untuk dibawa ketempat yang dibutuhkan sehingga mengurangi biaya;
c. Mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan unggul secara lebih luas dalam jangka waktu yang lebih lama;
d. Meningkatkan angka kelahiran dengan cepat dan teratur;
e. Mencegah penularan / penyebaran penyakit kelamin.
Keuntungan Inseminasi Buatan (IB)
a. Menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan;
b. Dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik;
c. Mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding);
d. Dengan peralatan dan teknologi yang baik sperma dapat simpan dalam jangka waktu yang lama;
e. Semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian walaupun pejantan telah mati;
f. Menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan karena fisik pejantan terlalu besar;
g. Menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang ditularkan dengan hubungan kelamin.
Inseminator adalah tenaga teknis menengah yang telah dididik dan mendapat sertifikat sebagai inseminator dari pemerintah Pelaksanaan perkawinan dilakukan pada saat berahi. Selain itu pengecekan terhadap gangguan reproduksi juga dilakukan, jika sapi tersebut mengalami infeksi pada bagian cervic, atau organ lainnya maka perkawinan akan ditunda.
Deteksi berahi yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan suatu perkawinan selain ketepatan dan kecepatan saat melakukan perkawinan, pemeriksaan berahi yang efektif memerlukan pengetahuan yang lengkap tentang tingkah laku sapi yang berahi baik normal ataupun tidak.
Deteksi berahi paling sedikit dilaksanakan dua kali dalam satu hari, pagi hari dan sore/malam hari. Dalam pelaksanaan deteksi berahi bagi para inseminator maupun peternak sukar untuk dapat mengetahui saat yang tepat awal terjadinya estrus (berahi). Terjadinya berahi pada ternak di sore hari hingga pagi hari mencapai 60%, sedangkan pada pagi hari sampai sore hari mencapai 40% (Lubis, 2006). Menurut Ihsan (1992) deteksi berahi umumnya dapat dilakukan dengan melihat tingkah laku ternak dan keadaan vulva.
Pengamatan dan pengecekan dilakukan oleh service veteriner pada pagi hari saat sapi digiring ke tempat pemerahan, siang hari saat sapi istirahat atau setelah diperah, begitu juga dengan kegiatan sore hari untuk pemerahan kedua, dan malam hari setelah sapi-sapi tersebut selesai diperah. Para petugas akan mencatat ear tag (identitas) apabila sapi betina menaiki sapi lain dan diam jika dinaiki. Kemudian sapi akan diperiksa dengan mencocokkan data yang ada melalui siklus estrus dari sapi tersebut. Siklus estrus adalah berahi yang berulang secara teratur dalam kurun waktu rata-rata 21 hari. Secara fisiologis, berlangsungnya siklus berahi ini melibatkan aktivitas sistem syaraf dan sistem hormonal dalam tubuh sapi, sehingga dapat dikatakan bahwa reproduksi sapi berlangsung secara neuro hormonal. Jika sapi tersebut masuk dalam pengecekkan satu siklus berahi (rata-rata 18 - 23 hari), tanda chalking orange pada pangkal ekor menghilang, vulva terlihat bengkak, panas, dan merah maka sapi tersebut dapat dikawinkan, untuk memastikan estrus lebih tepat lagi, cervic dapat diraba, jika agak keras (tegang) maka sapi tersebut positif estrus dan dikawinkan sebelum terlambat.Lamanya sapi berahi sangat bervariasi yaitu berkisar 6-30 jam (Lubis, 2006), dengan rataan 17 jam. Tidak jarang sapi-sapi yang berada di PT Greenfields Indonesia waktu berahinya tidak diketahui saat malam hari (10 pm) hingga pagi hari (6 am) karena tidak ada veteriner yang bertugas. Hal ini dapat membuat peternak kehilangan satu siklus berahi.




Tabel Siklus Berahi pada Sapi Betina
Fase Lama waktu (hari ke-) dari siklus
Estrus 0–1
Metestrus 1-3
Diestrus 4-16
Proestrus 17-21
Sumber: Makalah Seminar Pelatihan Inseminator pada Sapi/Kerbau BIB Singosari, 2006
Catatan : Dalam menyebut hari-hari dari siklus berahi, hari ke-0 adalah saat munculnya berahi pertama kali, hari ke-1 adalah hari dimana berahi muncul pertama kali, demikian hari selanjutnya sampai dengan hari ke-21 dari siklus berahi. Hari-hari ini penting diketahui misalnya untuk penyuntikkan hormon prostaglandin (PGF2α) yang harus diberikan pada hari-hari antara hari ke-5 sampai dengan hari ke-16 dari siklus berahi.
Pelaksanaan IB ini pun dilakukan oleh inseminator yang sudah menguasai teknik inseminasi. Perlengkapan yang digunakan untuk perkawinan adalah (1). straw beku pejantan unggul yang diimpor dari Amerika dengan bangsa FH (Frisian Holstein), (2). gun IB yang diimpor dari New Zealand, dan (3). plastic sheat berasal dari Perancis. Straw langsung didatangkan dari Amerika dengan harga sekitar Rp 350.000,00 - Rp 400.000,00 - dalam satu container dengan kapasitas kurang lebih 3024 dosis. Semen-semen yang terdapat dalam satu container yang berisi 32-34 liter nitrogen terdiri dari 6-7 pejantan FH (Friesian Holstein) dengan jumlah sperma minimal dua puluh lima juta dalam satu straw kapasitas setengah milliliter (0,5 ml). Straw akan diambil sesuai kebutuhan dan disimpan dalam container kecil dengan kapasitas nitrogen enam liter untuk di bawa ke lapangan. Pergantian straw biasanya dilakukan setiap 6 bulan dengan adanya berbagai pertimbangan. Penambahan nitrogen dilakukan saat batas nitrogen dalam container kurang dari panjang straw, biasanya pada saat volume nitrogen tinggal 30-32 liter. Adapun tata cara pelaksanaan perkawinan buatan tersebut dimulai dari pengambilan straw dari container, pencairan sperma dengan menggunakan air yang bersuhu 37 0C, memasukkan straw ke dalam gun, perabaan cervic yang benar agar dalam menyuntikkan gun tepat dua hingga tiga sentimeter di depan mulut cervic. Semua prosedur untuk IB dilakukan dengan sangat hati-hati. Kriteria semen yang digunakan berdasarkan produksi susu yang tinggi, sedangkan kriteria semen yang digunakan untuk heifer berdasarkan easy calving 6% (mudah beranak).
Selain itu dalam prosentase kebuntingan apabila dilakukan dengan IB, menurut Rustanto (2000) menunjukkan bahwa persentase kebuntingan pada sapi apabila inseminasi dilakukan pada saat-saat : permulaan berahi (Per.Br.) sebesar 44%, pertengahan berahi (Pert. Br.) 82%, akhir berahi (Akh. Br.) 75%, 6 jam sesudah berahi (6 j. S.Br.) 62,5%, 12 sesudah berahi (12 j. S.Br.) 32,5%, 18 jam sesudah berahi (18 j. S.Br.) 24%, 24 jam sesudah berahi (24 j. S.Br.) 12%, 36 jam sesudah berahi (36 j. S.Br.) 8% dan 48 jam sesudah berahi (48 j. S.Br) 0%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan inseminasi buatan diantaranya adalah:
1. Kondisi betina,
meliputi kesehatan dan anatomi organ reproduksi, Body Condition Score (BCS), lingkungan dan pakan, ektoparasit dan endoparasit.
2. Spermatozoa,
dilihat dari total sperma yang motil ( % motilitas dan konsentrasinya)
3. Ketepatan waktu IB (siklus berahi)
4. Penempatan posisi semen saat IB (tepat di depan cervik ± 3 cm)











B. Perawatan Sapi Perah Dara Bunting
Perawatan yang perlu dilakukan pada sapi yang mulai bunting, antara lain :
a. Makanan untuk sapi bunting perlu diperhatikan secara serius
b. Keadaaan fisik sapi bunting ini akan mempengaruhi produksi selama masa laktasi mendatang
c. Sapi yang telah bunting tua perlu dilepaskan di lapangan secara teratur. Dengan dilepas bebas di lapangan maka sapi tersebut dapat dengan bebas bergerak kemana-mana dan ini merupakan gerak badan sapi tersebut. Gerak badan itu penting untuk menjamin kesehatan tubuhnya dan memperlancar foetus pada saat melahirkan.
d. Sapi yang sedang bunting harus kita hindarkan dari benturan apapun, termasuk jangan sampai tergelincir
e. Pemerahan susu haruslah diperhatikan , ketika sapi akan melahirkan kurang dari 1,5 atau 2 bulan
f. Menjelang induk sapi ini melahirkan, maka harus ditambah lagi makanan yang cukup ditambah makanan penguat yang kandungan Prodnya 16 %, jumlahnya 2-3 kg/ ekor untuk setiap harinya. Hal ini akan berguna di dalam.
 Membantu pembentukan ambing, terutama pada sapi dara
 Membantu pembuatan kolostrum
Telah di ketahui bahwasanya sapi bunting perlu dilepaskan di lapangan terbuka agar dapat bebas bergerak. Gerak badan inilah sangatlah penting bagi sapi yang bunting. Keuntungan gerak badan tersebut antara lain :
a. Otot-otot daging memperoleh latihan sehingga memperlancar peredaran darah
b. Menjaga kesehatan, bentuk an posisi kuku sapi supaya tetap baik
Gerak badan sapi atau melepaskan sapi bunting di lapangan terbuka ini, sebaiknya di tempat yang berumput dan terkena sinar matahari selama 1-2 jam (Mulyana, 2006)


BAB III
KESIMPULAN

a. Sistem perkawinan merupakan sebuah gambaran dari beberapa metode perkawinan untuk program pengembakbiakan sapi.
b. Teknik manajemen perkawinan sapi potong dapat dilakukan degan menggunakan:
a. Teknik kawin alam dengan pejantan alam
b. Teknik Inseminasi Buatan (IB)
c. Perkawinan pertama seekor sapi perah dara tergantung pada 2 faktor utama yaitu umur dan berat badan.
d. perkawinan sapi perah dara terlalu cepat dengan kondisi tubuh yang terlalu kecil, maka akibat yang terjadi adalah :
a) Kesulitan melahirkan
b) Keadaan tubuhnya yang tetap kecil nantinya setelah menjadi induk sehingga dapat berakibat kemandulan dan rendahnya produksi susu
e. Sapi perah dara FH dan Brown Swiss memerlukan berat badan 350 kg – 375 kg untuk perkawinan yang pertama, PFH pada berat 275 kg. Sedangkan Guernsey dan Aryshire pada berat badan 250-275 kg dan Jersey pada berat badan lebih kurang 225 kg

ANALISIS KUANTITATIF DAN KUALITATIF DALAM PENGUKURAN DAN PERBANDINGAN UKURAN TUBUH (VITAL STATISTIK) SAPI PO DENGAN ONGOLE

BAB I
PENDAHULUAN

Berdasarkan ukurannya ternak dibagi menjadi dua, yaitu ternak besar dan ternak kecil. Ternak besar terdiri dari sapi dan kerbau. Sedangkan ternak kecil terdiri dari unggas, domba, kambing dan babi. Untuk jenis ternak kecil dalam mengukur berat badan dapat langsung di timbang karena lebih mudah dibanding dengan ternak besar. Tapi untuk mengukur berat badan ternak besar selain dengan cara ditimbang juga dapat diperkirakan dengan cara mengukur panjang badan, lingkar dada, tinggi gumba, lebar kemudi, dalam dada. Setelah mengetahui ukurannya baru menghitung bobot ternak secara sistematis. Akan tetapi pengukuran-pengukuran tersebut tidak akan sepenuhnya tepat dalam menduga bobot suatu ternak. Karena pendugaan bobot tersebut akan dapat tepat apabila ternak dalam suatu keadaan tertentu dan kondisi tertentu pula.
Menurut Agus (1990), karakteristik sapi ongole antara lain berpunuk besar, kulit longgar dengan banyak lipatan di bawah leher dan perut, telinga panjang serta menggantung, temperamen tenang dengan mata besar, tanduk pendek dan hampir tak terlihat, tanduk sapi betina lebih panjang daripada sapi jantan.
Menurut Santoso (2001), Pengukuran ukuran tubuh ternak dapat dipergunakan untuk menduga bobot badan seekor ternak sapi dan seringkali dipakai sebagai parameter teknis penentuan sapi bibit. Ukuran tubuh yang digunakan untuk menduga bobot tubuh biasanya panjang badan dan lingkar dada. Lingkar dada diukur dengan pita meter melingkar dada sapi tepat dibelakang siku. Panjang badan diukur secara lurus dengan tongkat ukur dari siku (humerus) sampai benjolan tulang lapis (Tuber Ischii). Tinggi pundak diukur lurus dengan tongkat ukur dari titik tertinggi pundak sampai tanah.
Mengetahui ukuran tubuh ternak termasuk hal yang penting, karena dengan mengetahui ukuran-ukuran vital tubuh ternak kita dapat mengetahui apakah ternak tersebut bentuk tubuhnya normal atau tidak. Selain itu dengan mengetahui ukuran vital tubuh ternak, juga akan bermanfaat apabila kita akan membeli ternak. Sehingga ukuran vital tubuh ternak tadi dapat dijadikan sebagai pedoman untuk memilih ternak yang bentuk tubuhnya proporsional.
Menurut Soenarjo (1988), perkembangan (Development) yaitu adanya kerja sama dari proses tadi (sejak lahir hingga dewasa) sehingga ukuran-ukuran badan menunjukkan perubahan-perubahan bentuk sampai hewan tersebut dewasa. Korelasi (hubungan) yang dekat antara pertumbuhan dan perkembangan atau dengan kata lain ada korelasi antara berat badan dengan ukuran-ukuran badan. Misal lingkaran dada (chest girth) pada hewan yang sedang tumbuh. Dapat dikatakan bahwa setiap lingkar dada bertambah 1% berat badan tambah lebih kurang 3%.



BAB II
ISI

A. Waktu dan Tempat Pengukuran
Waktu dan tempat pengukuran dilaksanakan pada hari Sabtu, 2 Mei 2009 pukul 16.00-17.00 WIB, bertempat di TPA Putri Cempo. Pengamatan dilakukan pada sapi Peranakan Ongole yang mempunyai kisaran umur antara 5-6 tahun. Perkiraan ini didapat dari keterangan langsung dari pemilik hewan ternak tersebut, dengan cara bertanya secara langsung kepada pemilik sapi PO tersebut.

B. Tata Laksana Pengukuran
Mengukur bagian vital ternak dengan menggunakan pita meter kain dan tongkat ukur. Bagian vital tersebut antara lain :
1). Panjang badan, diukur dengan cara menarik garis horisontal dari tepi depan sendi bahu sampai tepi bungkul tulang duduk.
2). Tinggi gumba diukur dari bagian tertinggi bagian gumba ke tanah sesuai dengan garis lurus.
3). Tinggi Kemudi, diukur dari titik tertinggi tulang kemudi sampai ke tanah sesuai garis lurus.
4). Lingkar dada diukur mengikuti lingkaran dada / tubuh tepat di belakang bahu melewati gumba.
5). Lebar dada, diukur dengan menarik garis horisontal antara tepi luar sendi bahu kanan dan kiri kaki depan.
6). Lebar kemudi, diukur dengan menarik garis horisontal dari tepi luar sendi paha kaki kanan dan kiri kaki belakang.





C. Hasil Pengukuran
Tabel Perbandingan Ukuran Tubuh Sapi
Pengukuran Sapi Ongole betina Sapi PO betina 1 Sapi PO betina 2
Panjang Badan
Tinggi Gumba 122 cm
112 cm 143 cm
111 cm 167 cm
131 cm
Tinggi Kemudi 124 cm 122 cm 141 cm
Lingkar Dada 151 cm 133 cm 157 cm
Lebar Dada 44 cm 41 cm 55 cm
Lebar Kemudi 39 cm 35 cm 38 cm
Dalam Dada 60 cm 58 cm 63 cm
Umur 4-5 tahun*) 5 tahun 5-6 tahun
*) Agus 1990

Perkiraan Berat Badan
 Rumus penentuan berat badan menurut Lambouine :
• Sapi Ongole
W = panjang badan x (lingkar dada)2
10840
= 122 x (151)2
10840
= 256,62 kg
• Sapi PO 1
W = panjang badan x (lingkar dada)2
10840
= 143 x (133)2
10840
= 233,35 kg
• Sapi PO 2
W = panjang badan x (lingkar dada)2
10840
= 167 x (157)2
10840
= 379,74 kg

 Rumus penentuan berat badan menurut Schoor :
• Sapi Ongole
W = (G + 22)2
100
=(151+22)2
100
=299,29 kg
• Sapi PO 1
W = (G + 22)2
100
=(133+22)2
100
=240,25 kg
• Sapi PO 2
W = (G + 22)2
100
=(157+22)2
100
=320,41 kg

Dalam pengukuran vital statistik, tidak semua bagian tubuh diukur tetapi hanya bagian tertentu saja seperti panjang badan, tinggi gumba, tinggi kemudi, lingkar dada, lebar dada, lebar kemudi dan dalam dada.
Dari hasil pengukuran diperoleh data sebagai berikut, pada sapi Ongole diperoleh hasil panjang badan 122 cm, tinggi gumba 112 cm, tinggi kemudi 124 cm, lingkar dada 151 cm, lebar dada 44 cm, lebar kemudi 39 cm, dalam dada 60 cm.. Dari hasil perkiraan berat badan diperoleh berat badan sapi Ongole menurut Lambouine adalah 256,62 kg; sedangkan menurut Schoor adalah 299,29 kg. Pada sapi PO 1 diperoleh hasil panjang badan 143 cm, tinggi gumba 111 cm, tinggi kemudi 122 cm, lingkar dada 133 cm, lebar dada 41 cm, lebar kemudi 35 cm, dalam dada 58 cm.. Dari hasil perkiraan berat badan diperoleh berat badan sapi PO 1 menurut Lambouine adalah 233,35 kg; sedangkan menurut Schoor adalah 240,25 kg. Sedangkan pada sapi PO 2 diperoleh hasil panjang badan 167 cm, tinggi gumba 131 cm, tinggi kemudi 141 cm, lingkar dada 157 cm, lebar dada 55 cm, lebar kemudi 38 cm, dalam dada 63 cm. Dari hasil perkiraan berat badan diperoleh berat badan sapi PO 2 menurut Lambouine adalah 379,74 kg; sedangkan menurut Schoor adalah 320,41 kg. Pada sapi Ongole menurut Anonimous (2009), berat badannya sekitar 300-400 kg untuk sapi betina. Berat lahir 20-25 kg. persentase karkas 45-58% dengan perbandingan daging tulang 3,23 : 1. Sedangkan pada sapi Peranakan Ongole biasanya berat badan tidak lebih dari 250 kg. Dari hasil pengukuran mengunakan 2 rumus tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pengukuran menggunakan rumus “Lambouine” lebih mendekati kebenaran daripada menggunakan rumus pengukuran berat badan “Schoor”. Akan tetapi pada pengukuran sapi PO 2 pada rumus Lambouine, hasil berat badan yang diperoleh lebih dari berat rata-rata sapi Peranakan Ongole pada biasanya. Terjadinya perbedaan kedua rumus tersebut dikarenakan standarisasi pengukuran tiap-tiap wilayah (negara) sangat berbeda-beda satu dengan yang lainya, serta di Indonesia biasanya hasil perhitungan berat badan dengan rumus Lambouine lebih mendekati ke sapi. Sedangkan pada hasil perhitungan berat badan dengan rumus Schoor lebih mendekati ke domba dan kambing.






BAB III
KESIMPULAN

Dari hasil pengukuran dapat diambil kesimpulan bahwa :
a. Rumus perhitungan berat badan menurut Lambouine adalah
W = panjang badan x (lingkar dada)2
10840
Rumus perhitungan berat badan menurut Schoor adalah :
W = (G + 22)2
100
b. Berat sapi Ongole dari hasil berat badan berdasarkan rumus Lambouine adalah 256,62 kg; dan PO 1 adalah 233,35 kg serta pada sapi PO 2 adalah 379,74 kg.
c. Berat sapi Ongole dari hasil berat badan berdasarkan rumus Schoor adalah 299,29 kg; dan PO 1 adalah 240,25 kg serta pada sapi PO 2 adalah 320,41 kg.
d. Rumus “Lambouine” lebih mendekati kebenaran daripada menggunakan rumus pengukuran berat badan “Schoor”. Hal ini terjadi disebabkan karena standarisasi pengukuran tiap-tiap wilayah sangat berbeda satu sama lainya; serta biasanya di Indonesia, hasil perhitungan berat badan dengan rumus Lambouine lebih mendekati ke sapi. Sedangkan pada hasil perhitungan berat badan dengan rumus Schoor lebih mendekati ke domba dan kambing.

MAKALAH PENGARUH SUHU LINGKUNGAN TERRHADAP TERNAK ( KAMBING ETTAWA )

BAB I
PENDAHULUAN

Sistem pemeliharaan kambing di Indonesia sebagian besar masih dilakukan secara tradisional oleh petani ternak. Ternak dilepas atau digembalakan di lapangan atau padang rumput lain pada siang hari. Konsekuensi sistem pemeliharaan demikian adalah terjadinya beban panas yang berlebih atau cekaman panas pada ternak, karena pengaruh langsung dari radiasi matahari dan suhu lingkungan yang tinggi. Kondisi ini memaksa ternak untuk mengaktifkan mekanisme termoregulasi, yaitu peningkatan suhu rektal, suhu kulit, frekuensi pernafasan dan denyut jantung, serta menurunkan konsumsi pakan (Purwanto et al., 1996).
Rendahnya persentase bobot karkas pada suhu lingkungan rendah disebabkan oleh tingginya bobot alat pencernaan (jeroan), berhubung tingginya konsumsi pakan di daerah suhu lingkungan rendah. Terjadinya peningkatan konsumsi pakan, diikuti peningkatan bobot jeroan dan isi. Kaitan antara suhu lingkungan dengan konsumsi pakan, dijelaskan melalui pengaruhnya pada aktivitas metabolisme.

BAB II
URAIAN MATERI

Pengaruh Suhu Lingkungan Terhadap Fisiologis
Masalah utama dari ternak yang dipelihara di daerah tropis basah, seperti di Indonesia, adalah tingginya radiasi matahari secara langsung sepanjang tahun, khususnya bagi ternak berproduksi tinggi, sehingga ternak dalam kondisi uncomfort karena beban panas yang berlebih. Respons dari masalah ini adalah ternak terpaksa meningkatkan aktivitas termoregulasi guna mengatasi beban panas yang dideritanya. Suhu dan radiasi matahari pada kandang tanpa atap atau tanpa naungan (atap) lebih tinggi daripada kandang dengan naungan (atap). Sebaliknya kelembaban dalam kandang tanpa naungan (atap) lebih rendah daripada di dalam kandang dengan naungan (atap).
Menurut Smith dan Mangkuwidjojo (1988) bahwa daerah nyaman bagi kambing berkisar antara 18 dan 30^0C. Peningkatan suhu terjadi sejalan dengan peningkatan besarnya radiasi matahari yang diterima. Namun demikian, diduga bahwa beban panas yang lebih kecil dialami oleh kambing yang dipelihara di bawah naungan (atap). Kondisi ini terlihat dari kemampuan naungan (atap) untuk memperbaiki lingkungan mikro dalam kandang naungan (atap), yaitu menurunkan suhu dan radiasi matahari.
Mekanisme fisiologis mengharuskan alokasi energi untuk kinerja produksi maupun reproduksi dipakai untuk mempertahankan keseimbangan panas tubuh. Dengan demikian, akan berdampak buruk yaitu penurunan produktivitas ternak. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengendalikan panas yang diterima dan peningkatan panas yang terbuang oleh ternak, yaitu pemberian naungan (atap) atau atap dan pemilihan bahan atap yang lebih efektif dalam menciptakan kondisi iklim mikro kandang yang kondusif bagi ternak untuk berproduksi. Jenis atap kandang yang biasa digunakan oleh para peternak, yaitu atap dari rumbia, seng, dan genteng. Dari bahan tersebut kita dapat membandingkan bahan atap mana yang lebih efektif dalam menciptakan kondisi iklim mikro kandang yang kondusif bagi ternak untuk berproduksi
Hasil penilitian Qiston (2007) menunjukkan: (a) jenis atap tidak mempengaruhi suhu udara, kelembaban udara, dan radiasi matahari dalam kandang;(b) kandang beratap rumbia menyebabkan respons suhu rektal lebih rendah dibandingkan dengan kambing yang ada di dalam kandang beratap genteng dan seng pada pengamatan siang, malam, dan rataan harian. Kandang beratap genteng menyebabkan suhu rektal ternak kambing lebih rendah dibandingkan ternak beratap seng pada pengamatan siang dan rataan harian, namun pada pengamatan malam hari tidak berbeda;
(c) kandang beratap rumbia menyebabkan respons frekuensi pernafasan lebih rendah dibandingkan dengan ternak beratap seng baik pada pengamatan siang maupun rataan harian, sedangkan dibandingkan dengan ternak beratap genteng tidak berbeda. Pengamatan malam hari ketiga jenis atap menghasilkan frekuensi pernafasan yang tidak berbeda;(d) ketiga jenis atap kandang tidak menyebabkan perbedaan respons frekuensi denyut jantung balk pada pengamatan slang hail, malam hail, maupun rataan harian;(e) ketiga jenis atap kandang tidak menyebabkan perbedaan respons pertambahan bobot badan harian pada ternak kambing percobaan.
Respons Termoregulasi
Suhu rektal kambing PE pada kandang tanpa naungan (atap) memberikan hasil yang lebih besar daripada kambing yang dinaungi. Hasil ini mengindikasikan bahwa tingkat cekaman atau beban panas yang dialami oleh kambing pada kandang tanpa naungan (atap) lebih besar jika dibandingkan dengan kambing yang dinaungi. Hal ini disebabkan lebih tingginya suhu dan radiasi matahari dalam kandang tanpa naungan (atap). Menurut Mc Dowell (1972), suhu lingkungan yang tinggi mengakibatkan peningkatan suhu tubuh ternak.
Meskipun nilai rataan suhu rektal kambing PE pada kedua kondisi pemeliharaan di kandang dengan naungan (atap) dan di kandang tanpa naungan (atap), suhu rektal keduanya masih berada dalam kisaran normal suhu rectal kambing. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Smith dan Mangkuwidjojo (1988), suhu rektal kambing pada kondisi normal adalah 38,5 -40^0C dengan rataan 39,4^0C atau antara 38,5 dan 39,7^0C dengan rataan 39,1^0C (Anderson, 1970). Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme termoregulasi dapat berjalan dengan baik. Kambing yang dipelihara pada kandang tanpa naungan (atap) memiliki frekuensi pernapasan dan denyut jantung yang lebih tinggi daripada kambing di bawah naungan (atap). Kondisi ini dikarenakan ternak pada kandan tanpa naungan (atap) mengalami cekaman atau beban panas yang lebih besar, sehingga akan melakukan aktivitas mekanisme termoregulasi melalui jalur evaporasi, baik melalui kulit maupun pernafasan, yang lebih besar jika dibandingkan dengan ternak yang berada di bawah naungan (atap). Frandson (1993) menyatakan bahwa ternak yang tidak dinaungi akan mengalami peningkatan pada suhu tubuh, suhu rektal, suhu kulit, frekuensi pernapasan, dan frekuensi denyut jantung, sebagai akibat adanya tambahan panas dari luar tubuh terutama yang berasal dari radiasi panas matahari secara langsung.
Konsumsi Ransum dan Pertambahan Bobot Tubuh
Tambahan bobot tubuh kambing yang dipelihara dalam kandang dengan naungan (atap) lebih tinggi daripada kambing yang dipelihara di kandang tanpa naungan (atap). Hal ini disebabkan karena konsumsi ransum ternak di kandang dengan naungan (atap) adalah lebih besar jika dibandingkan dengan kambing tanpa naungan (atap).
Konsumsi ransum pada kambing yang dipelihara tanpa naungan (atap) lebih rendah daripada ternak yang dipelihara di bawah naungan (atap). Hal ini disebabkan karena kambing tanpa naungan (atap) mengalami cekaman atau beban panas yang lebih besar, sehingga terpaksa menurunkan tingkat konsumsi pakannya sebagai upaya untuk mengurangi produksi panas tubuh untuk mencegah cekaman atau beban panas yang semakin besar. Semakin besarnya penurunan beban panas yang dialami oleh ternak di dalam kandang dengan naungan (atap) menunjukkan bahwa energi yang dapat dimanfaatkan untuk proses-proses metabolisme pada ternak di bawah naungan (atap) lebih besar jika dibandingkan dengan energi yang terpaksa digunakan untuk proses termoregulasi pada ternak tanpa naungan (atap). Dengan demikian pertambahan bobot tubuh ternak di bawah naungan (atap) lebih besar.
Beberapa peneliti juga melaporkan bahwa suhu lingkungan mempengaruhi konsumsi pakan. Krogh (2000) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah suhu lingkungan. Suhu ruangan di bawah thermoneutral menyebabkan kosumsi pakan ayam meningkat, sedangkan suhu ruangan di atas kisaran tersebut menyebabkan penurunan konsumsi pakan. Penurunan konsumsi pakan, antara lain disebabkan oleh meningkatnya konsumsi air minum yang digunakan untuk mempertahankan suhu tubuh terhadap suhu lingkungan yang bertambah panas.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Suhu dan radiasi matahari pada kandang tanpa atap atau tanpa naungan (atap) lebih tinggi daripada kandang dengan naungan (atap). Sebaliknya kelembaban dalam kandang tanpa naungan (atap) lebih rendah daripada di dalam kandang dengan naungan (atap);
jenis atap tidak mempengaruhi suhu udara, kelembaban udara, dan radiasi matahari dalam kandang;
kandang beratap rumbia menyebabkan respons suhu rektal lebih rendah dibandingkan dengan kambing yang ada di dalam kandang beratap genteng dan seng pada pengamatan siang, malam, dan rataan harian. Kandang beratap genteng menyebabkan suhu rektal ternak kambing lebih rendah dibandingkan ternak beratap seng pada pengamatan siang dan rataan harian, namun pada pengamatan malam hari tidak berbeda;
kandang beratap rumbia menyebabkan respons frekuensi pernafasan lebih rendah dibandingkan dengan ternak beratap seng baik pada pengamatan siang maupun rataan harian, sedangkan dibandingkan dengan ternak beratap genteng tidak berbeda. Pengamatan malam hari ketiga jenis atap menghasilkan frekuensi pernafasan yang tidak berbeda;
ketiga jenis atap kandang tidak menyebabkan perbedaan respons frekuensi denyut jantung balk pada pengamatan slang hail, malam hail, maupun rataan harian;
ketiga jenis atap kandang tidak menyebabkan perbedaan respons pertambahan bobot badan harian pada ternak kambing percobaan;
Kambing yang dipelihara pada kandang tanpa naungan (atap) memiliki frekuensi pernapasan dan denyut jantung yang lebih tinggi daripada kambing di bawah naungan (atap);
Konsumsi ransum pada kambing yang dipelihara tanpa naungan (atap) lebih rendah daripada ternak yang dipelihara di bawah naungan (atap);
Penggunaaan naungan (atap) menghasilkan kondisi iklim yang lebih nyaman jika dibandingkan tanpa naungan (atap), yang ditunjukkan oleh lebih rendahnya respons suhu rektal, frekuensi pernapasan, dan frekuensi denyut jantung, serta pertambahan bobot tubuh kambing PE yang lebih tinggi.

Saran
Sebaiknya para peternak menggunakan kandang yang menggunakan atap untuk memelihara hewan ternak agar daging ataupun susu yang didapatkan lebih optimal.